Wecare Jatim – Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, hari ini memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang Judical Review soal pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi (MK). Cholil mengatakan “beda pernikahan beda agama haram.”
Cholil merujuk ke pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 2 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Cholil menegaskan perkawinan dinyatakan sah manakala ditetapkan berdasarkan hukum agama yang dianutnya.
Dalam penjelasannya, Cholil juga membeberkan ayat Al-Quran tentang pernikahan. Penjelasan Cholil itu disertai dengan hadis yang mendukung keterangannya.
Cholil juga mengungkapkan keputusan MUI Nomor 4//MUNAS VII//MUI/8/2005. Keputusan itu menyatakan tentang hukum larangan pernikahan beda agama, yaitu perkawinan beda agama dalah haram dan tidak sah.
Tidak hanya MUI, Nahdlatul Ulama juga telah mengeluarkan fatwa mengenai pernikahan beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 pada November 1989 di Yogyakarta.
Dalam fatwanya ulama NU menegaskan bahwa nikah antara dua orang berlainan agama di Indonesi hukumnya tidak sah.
Cholil juga mengungkapkan keputusan tarjih Muhammadiyah pada 1989 yang menguatkan pendapat tentang tidak boleh menikahi wanita non muslim atau ahlulkitab.
Alasannya, ahlul kitab yang ada sekarang tidak sama dengan ahlulkitab pada zaman Nabi Muhammad SAW. Para ulama juga sepakat pernikahan beda agama antara pasangan laki-laki musli maupun perempuan muslimah dengan orang musyrik atau musyrikah hukumnya tidak sah dan haram.
Begitu juga pernikahan perempuan muslimah dengan musyrik, kafir atau kitabi hukumnya tidak sah dan haram.
Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Kitabiyah Yahudi dan Nasrani ada perbedaan pendapat antara ulama salaf, namun ulama kontemporer khususnya ulama yang tergabung di ormas Islam Indonesia sepakat hukum nikah beda agama secara mutlak tidak sah dan haram.