Saya Warga NU, Saya Prihatin Penolakan Hanan Attaki

Oleh: Gafur Abdullah*

OPINI – Pangapora Sabelluna, saya perlu disclaimer dulu bahwa saya bukan fans Hanan Attaki. Apalagi anggota jamaah pemuda hijrah. Bukan. Lebih jauh dan tegas, saya dan dia hanya saudara seiman dan setanah air- sesama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Disclaimer itu sengaja saya sampaikan, agar pembaca tidak menilai saya subjektif menanggapi peristiwa Minggu malam (12/02/2023) di Laden, Pamekasan.

Malam itu, Hanan Attaki datang karena diundang untuk berceramah di  Masjid Muttaqin, Laden, Pamekasan.  Desa Laden, secara administrasi masuk di wilayah Kecamatan Pamekasan, Pamekasan, Jawa Timur.

Andai  bisa berjumpa atau sekadar bisa komunikasi via aplikasi percakapan, saya  ingin menyapa Hanan Attaki dengan: Salam bang Hanan, selamat datang di Pamekasan. Bagaimana suasana Pamekasan? Bagaimana perasaan abang saat mengisi pengajian –sharing session– di Kota Gerbang Salam malam itu?

Dah, itu saja pertanyaan saya. Lagian, ini hanya berandai, maka cukup berandai. Senang misal bisa ngobrol santai.

Mendengar Desa Laden, saya ingat Bencana Banjir yang menimpanya beberapa tahun terakhir. Desa Laden biasanya dilanda banjir air akibat luapan sungai di sepanjang daerah Tapsiun (red: eks stasiun) dan curah hujan yang tinggi serta dalam durasi yang cukup lama. Berbeda dengan malam itu, Desa Laden bukan banjir air, tapi banjir manusia: Jamaah pengajian di dalam-beranda Masjid  Muttaqin dan cakanca Barisan Ansor Serbaguna (Banser)  di area masjid juga di sepanjang jalan Laden.

Oh ya, saya ini warga Nahdlatul Ulama (NU). Pernah aktif di Gerakan Pemuda-GP Ansor tingkat ranting. Tetapi tidak sampai jadi anggota Banser. Bukan tidak berkenan atau benci Banser. Bukan. Tetapi karena keadaan tertentu.  Simpel saja; khawatir tidak-sanggup-bisa mengemban amanah sucinya.

Dan, keaktifan saya di struktural banom NU terhenti di situ. Tapi yang jelas, saya berani berikrar sebagai warga NU kultural. Saya lahir dan besar di lingkungan dengan ritual keagamaan ala NU. Dan, sampai saat ini, saya masih terbiasa dengan warisan leluhur saya; tahlilan iya, puji-pujian antara adzan dan iqomah iya, dzikir bersuara usai shalat iya, ziarah kubur- senang dengan kegiatan Ajhiyân Makam iya, tak lupa, saya -gembira dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad- amolod.

Intinya, saya masih melaksanakan ritual keagamaan Islam secara  moderat ala NU lainnya yang oleh NU dinarasikan sebagai manifestasi dari konsep Islam Nusantara. Satu lagi, shalat subuh saya masih  lengkap dengan doa qunut serta  tarawih saya 23 rakaat.

Baiklah, saya sudahi dulu pemaparan rekam jejak saya di NU itu. Mari temani saya berziarah ke peristiwa di masjid dekat kontrakan (beberapa tahun lalu) di Desa Laden itu. Kebetulan, saya juga pernah beberapa kali salat di masjid itu.

“…diketahui bersama, dengan Polres, kita tidak pernah bermusuhan. Kita tidak pernah punya salah dengan polres. Maka mari, kita izinkan, kami dengan warga Nahdliyin, warga aswajais, diperbolehkan masuk cepat. Minta tolong kerjasamanya. Satu komando!  Satu tujuan. Revolusi,revolusi, revolusi, minta tolong kerjasamanya, kepada Polres. Kami tidak ingin bersitegang dengan Polres.  Dan keamanan-keamanan yang lain. Untuk kita diperboleh maju ke depan dan masuk,” begitu riuh salah satu -orator- anggota Banser melalui pengeras suara  dalam salah satu video yang beredar.

Mereka melakukan aksi dan mendesak aparat kepolisian agar diizinkan masuk ke dalam masjid untuk menghentikan sharing session yang diisi Hanan Attaki.

Sebelumnya, 11 Februari 2023, dalam beberapa portal berita di Pamekasan, termasuk milik PCNU Pamekasan, KH Taufiq Hasyim selaku nahkoda kelembagaan NU Pamekasan minta acara “sharing session” di masjid Muttaqin itu dipindah ke daerah lain. Alasannya, kedatangan Hanan Attaki sebagai pengisi acara di situ khawatir akan menimbulkan dampak sosial: resah dan tidak nyaman.  Tapi sangat disayangkan, pernyataan ini tidak tersampaikan secara detail. Khawatir masyarakat  resah. Masyarakat yang mana?  Siapa? Kenapa? Apa yang diresahkan?

(Dan yang saya sayangkan pula, berita-berita tentang itu mengabaikan cover-both side yang seharusnya dilakukan oleh si Jurnalis.)

Saya yakin dan percaya bahwa Banser itu tegas dan setia menjaga NKRI. Paling tidak, secara narasi dibuktikan dengan salah satu sempalan  slogannya; NKRI Harga Mati. Sementara dalam praktiknya, Banser selalu siaga dan berada di barisan terdepan untuk mengawal sesuatu yang dianggap mengancam NKRI.

Saya tidak meragukan kiprah Banser dalam menjaga NKRI ini besar dan perlu diapresiasi. Dan saya yakin Banser diajari perihal prinsip tabayyun. Dalam hal ini,  apakah hidupnya Hanan Attaki menerobos taming-taming kebangsaan? Apakah dia terbukti melakukan doktrin paham radikalisme-paham yang oleh warga NU dan oleh Ormas Islam  yang setia pada NKRI lainnya ditolak mentah-mentah- karena dinilai dapat memecah belah bangsa Indonesia? Semisal Hanan Attaki diduga berpaham itu, apakah itu benar-benar terbukti? Menurut saya, ini perlu dipertimbangkan dan data yang kuat.

Lebih dekat, apakah cakanca Banser sudah melakukan tabayyun terlebih dahulu kepada pihak penyelenggara. Sesederhana datang dan berbicara baik-baik ke salah satu pihak pengelola masjid Muttaqin Laden, misalnya? Sehingga tidak dengan modal seragam dan berbondong-bondong lengkap dengan pengeras suara,   malam itu melakukan aksi sigap ingin menghentikan pengajian yang diisi Hanan Attaki di Masjid Muttaqin, Laden. Apakah peserta aksi malam itu semuanya murni anggota Banser-warga pro Nahdliyin? Atau  jangan-jangan mereka disusupi oleh provokator tak bertanggungjawab. Semoga saja tidak.

Saya menjumpai kiriman video cakanca Banser yang sedang melakukan orasi di jalanan area Laden melalui WhatsApp Story teman. Video itu berisi orasi yang isinya kira-kira begini: Hanan Attaki ditolak di beberapa daerah. Karena salah satunya yang dikatakan, Nabi Musa itu preman. Siapa yang setuju ketika Nabi Musa dikatakan preman? Siapa yang setuju dikatakan bahwa Siti Aisyah itu wanita gaul? Pernyataan dan pertanyaan itu dilontarkan dengan suara lantang. Peserta aksi lainnya menyambut dengan lantang ; tidak setuju…

Saya sudah tahu video tentang Hanan Attaki yang menyampaikan narasi yang dimaksud itu berikut klarifikasinya.  Hanan Attaki sudah meminta maaf atas kesalahan pemilihan diksi dalam menyampaikan itu. Dan saya tidak setuju dengan pemilihan diksi itu.

Setelah itu, apakah Hanan Attaki mengulang kesalahannya? Silakan cek kembali. Oh ya, apakah cakanca Banser yang ikut aksi pada   malam itu di Laden menemukan kesalahan Hanan Attaki dalam penyampaiannya? Atau hanya sibuk aksi di luar masjid sampai hampir bentrok dengan aparat? Saya dengar, tidak ada korban. Alhamdulillah.

Saya pikir, kesalahan tetap kesalahan. Artinya, kesalahan pemilihan diksi dalam penyampaian Hanan Attaki -tentang Nabi Musa (sebagai preman para nabi) dan Siti Aisyah-istri Nabi Muhammad (perempuan gaul)- itu jelas salah. Tapi  dia sudah  minta maaf. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak-mencegah perjalanan dakwahnya di masa akan datang. Termasuk di Laden Minggu malam itu.

Sebelum menulis ini, saya menonton beberapa ceramah Hanan Attaki di ragam platform.  Selain dua hal diatas, saya rasa tidak ada kesesatan, penyimpangan, bahkan tidak ada narasi yang mengarah ke ranah radikalisme-provokatif soal kelompok. Tidak ada. Wabilkhusus, dia tidak mengeluarkan narasi ujaran kebencian-provokatif tentang amaliah NU. Tidak ada.

Apalagi, kesalahan itu sudah diakui dan sudah minta maaf. Artinya, dia sudah melakukan evaluasi dan berjanji tidak -akan- mengulangi lagi. Menurut saya, sebuah kesalahan itu tidak bisa dijadikan alasan kita membencinya apalagi mencaci-maki seolah tidak ada kebaikan darinya.

Kembali ke kejadian di Laden. Saya tidak bisa membenar-salahkan aksi malam itu. Namun saya prihatin. Sebab benar tidaknya sesuatu tergantung perspektifnya. Karena itu soal sikap. Tetapi perlu kejelasan dan duduk perkaranya. Salah satu caranya dengan tabayyun. Dan tabayyun ini bagian dari ajaran Islam. Saya yakin, cakanca Banser sudah belajar bagaimana cara menyelesaikan sesuatu yang dianggap menjadi persoalan?

Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menyalahkan Banser. Tidak. Saya tidak meragukan kesetiaan Banser dalam menjaga ketertiban di NKRI ini. Dan saya pikir, cara terbaik untuk menjaga NKRI dalam keberagaman adalah dengan mengamalkan ajaran Islam yang santun sebagaimana diajarkan oleh Nabi, Ulama dan para Kiai dalam kehidupan sehari-hari; baik beragama, bermasyarakat dan bernegara. Dan itu dicover dalam narasi moderasi ala NU.

Saya yakin, Banser tidak akan melakukan tindakan-main gruduk sembarangan jika tabayyun didahulukan.  Jika ditarik lebih mendasar pada organisasi, Banser tidak akan melakukan kegiatan-tindakan tanpa anjuran kelembagaan juga tidak akan mengabaikan prosedur. Dan bicara perihal tindakan seperti itu, saya pikir, akan menimbulkan – membuat orang akan membenci NU. Dan rasanya, dulu -sampai sekarang- para kiai NU pasti  tidak suka dengan main gruduk, dan lebih memilih-memakai cara-cara diplomatis. Saya pikir, itu cara terbaik.

Dengan adanya riuh di Laden itu,  saya merasa malu dengan label-julukan Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami (Gerbang Salam)nya Pamekasan. Hemat saya, apakah tidak sebaiknya kita selaku bagian dari masyarakat Pamekasan dapat membuktikan julukan itu melalui tindakan yang nyata?

Saya tidak pernah membayangkan bahwa Laden akan banjir manusia malam itu, karena sekali lagi, biasanya Laden dan sekitarnya langganan banjir air kala musim hujan. Semoga musibah musiman itu -tidak terus menghantui warga setempat-segera mendapat solusi.

Saya hanya membayangkan, bagaimana kesan Hanan Attaki -juga publik- selaku bagian dari warga Indonesia mendapat sambutan seperti itu dari saudara seiman dan setanah air? Dia datang diundang untuk membersamai saudara kita di  Pamekasan dan jelas di jalan kebajikan. Terlebih, bagaimana perasaannya penyelenggara-jamaah pengajian malam itu? Riuh malam itu, bukan tidak mungkin akan menyisakan traumatik bagi warga Laden dan jamaah di sekitar masjid itu.

Sebab,  dapat dipastikan ada perempuan, barangkali juga ada warga  yang sedang sakit, lansia dan anak-anak yang rentan kaget bukan kepalang saat melihat  kejadian seperti malam itu. Tiba-tiba ada riuh dan hampir bentrok dengan aparat. Mereka tidak tahu apa-apa. Yang mereka tahu, ada kegaduhan orang-orang dewasa bahkan ada aparat di sana.

Ada beberapa kemungkinan paling mendasar pada kejadian malam itu. Pertama, sebagian masyarakat akan memberikan penilaian -negatif- kepada cakanca Banser dengan perspektifnya masing-masing. Kedua, masyarakat dalam bayang penasaran, kenapa pengajian itu ingin dibubarkan? Ketiga, jika permintaan dibubarkan karena dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang dianut Nahdliyin atau atau provokatif perihal  konsep berbangsa dan bernegara,  seharusnya diberikan kejelasan dimana letak penyimpangannya?

Saya yakin, cakanca Banser Pamekasan menyadari bahwa Desa Laden ramai dengan pemukiman dan selama ini damai-tentram tanpa kegaduhan seperti malam itu.

Sebagai pamungkas dari tulisan ini, saya berikrar : Mencintai NU, Ormas Islam terbesar warisan para masyaikh Indonesia ini dan punya semangat menjadi penerang umat melalui lentera rahmatan lil alaminnya.

Wallahu A’lam

*Penulis adalah Warga Nahdliyin di akar rumput.

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *